REVOLUSI MENTAL, APA KABAR NYA????





            Sebelum kita membahas perkembangan Gerakan Revolusi Mental di INDONESIA, ada baik nya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu Revolusi Mental.  Revolusi Mental adalah gerakan sosial untuk bersama-sama menuju Indonesia yang lebih baik. Dilakukan dengan program “gempuran nilai” (value attack) untuk senantiasa mengingatkan masyarakat terhadap nilai-nilai strategis dalam setiap ruang publik. Kata "Revolusi Mental" terdiri dari dua suku kata yakni "Revolusi" dan "Mental". Oleh sebab itu harus dijelaskan satu persatu. Memang agak teoritis dan sedikit membosankan. Maka dari itu siap-siap saja supaya tidak salah paham.


       Kata "Revolusi" pertama kali muncul abad 14 oleh Seorang ahli astronomi bernama Nicolaus Copernicus. Pada awalnya dia ingin mendiskripsikan benda-benda langit. Revolusi artinya "gerakan berputar" atau "gerakan sirkular". Pada abad ke-17, istilah revolusi digunakan dalam filsafat politik. Revolusi lalu punya arti pergantian dan perputaran elit kekuasaan pada negara-negara baru. Definisi ini lalu menjadi praktis di sejumlah negara. Pada tahun 1789 terjadi revolusi di Perancis, Tahun 1917 di Rusia, Tahun 1919 di Mexico, Tahun 1949 di Cina, Tahun 1959 di Kuba, Tahun 1979 di Iran,Tahun 1985 di Philipina,Tahun 1989 di Eropa Timur.


       Lantas bagaimana perubahan Orde Lama ke Orde Baru, jatuhnya Orde Baru serta jatuhnya Pemerintahan Gusdur, apakah itu semua bagian dari revolusi? Menganut teorinya Sztompka, ada 5 ciri dari revolusi. Pertama, memiliki dampak yang luas. Kedua, radikal dan fundamental, karena sampai ke akar budaya, sistem dan cara berpikir. Ketiga, terjadi tiba-tiba dan mendadak, sangat cepat dan tak terprediksi apalagi direncanakan. Keempat, melibatkan emosi dan intelektual rakyat secara menyeluruh. Kelima, kentara dan akan sangat dikenang. Dengan lima syarat ini, maka kejatuhan Orde Lama, Orde Baru, bahkan Pemerintahan Gusdur bukan akibat dari revolusi. 


Sementara itu Pengertian “mental” secara definitif belum ada kepastian definisi yang jelas dari para ahli kejiwaan. Secara etimologi kata “mental” berasal dari bahasa Yunani, yang mempunyai pengertian sama dengan pengertian psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. James Draver memaknai mental yaitu “revering to the mind” maksudnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pikiran atau pikiran itu sendiri.


Kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens ataumetis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerik individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi (suasana) mental. Sedangkan secara terminologi para ahli kejiwaan maupun ahli psikologi ada perbedaan dalam mendefinisikan “mental”. Salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Al-Quusy (1970) yang dikutip oleh Hasan Langgulung, mendefinisikan mental adalah paduan secara menyeluruh antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kemampuan menghadapi krisis-krisis psikologis yang menimpa manusia yang dapat berpengaruh terhadap emosi dan dari emosi ini akan mempengaruhi pada kondisi mental.


Pengertian lain “mental” didefinisikan yaitu yang berhubungan dengan pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran, akal dan ingatan. Seperti mudah lupa, malas berfikir, tidak mampu berkonsentrasi, picik, serakah, sok, tidak dapat mengambil suatu keputusan yang baik dan benar, bahkan tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang hak dan yang batil, antara halal dan haram, yang bermanfaat dan yang mudharat. Dari sini dapat ditarik pengertian yang lebih signifikan bahwa mental itu terkait dengan, akal (pikiran/rasio), jiwa, hati (qalbu), dan etika (moral) serta tingkah laku). Satu kesatuan inilah yang membentuk mentalitas atau kepribadian (citra diri). Citra diri baik dan jelek tergantung pada mentalitas yang dibuatnya.


       Dari makna – makna kata di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengertian  Revolusi Mental adalah perubahan cara berpikir dalam waktu singkat untuk merespon, bertindak dan bekerja.


       Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, gagasan Revolusi Mental tidak bisa dipisahkan dari bapak proklamator Indonesia Presiden Soekarno. Sebagai pencetus gagasan Revolusi Mental mulai dikumandangkan Bung Karno pada 1957. Presiden Soekarno memandang saat itu revolusi nasional Indonesia sedang "mandek" padahal tujuan revolusi belum tercapai. Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek.
Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Kata Bung Karno, di masa perang pembebasan (liberation), semua orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun.
Kedua, banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti hollands denken(gaya berpikir meniru penjajah Belanda).  Penyakit mental tersebut mencegah para pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan revolusioner dalam rangka menuntaskan revolusi nasional. Sementara di kalangan rakyat Indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas nrimodan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) di hadapan penjajah.
Ketiga, terjadinya ‘penyelewengan-penyelewengan’ di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Juga dipicu oleh alam berpikir liberal, statis, dan textbookthinkers (berpikir berdasarkan apa yang dituliskan di dalam buku-buku).


           Di lapangan ekonomi, hingga pertengahan 1950-an, sektor-sektor ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing lainnya. Akibatnya, sebagian besar kekayaan nasional kita mengalir keluar. Padahal, untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri dan merdeka, struktur ekonomi kolonial tersebut mutlak harus dilikuidasi. Namun, upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu diganjal oleh sejumlah pemimpin politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit rendah diri (minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, Indonesia yang baru merdeka belum punya modal dan kemampuan untuk mengelola sendiri kekayaan alamnya. Karena itu, mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat dan sebuah kebijakan ekonomi yang toleran terhadap modal asing.

            Di lapangan politik, Indonesia kala itu mengadopsi demokrasi liberal yang berazaskan free fight liberalism. Alam politik liberal itu menyuburkan perilaku politik ego-sentrisme, yakni politik yang menonjolkan kepentingan perseorangan, golongan, partai, suku, dan kedaerahan. “Dulu jiwa kita dikhidmati oleh tekad: aku buat kita semua. Sekarang: aku buat aku!” keluh Bung Karno. Demokrasi liberal ini juga menyebabkan ketidakstabilan politik dan perpecahan nasional. Akibatnya, dalam periode demokrasi liberal antara tahun 1950 hingga 1959, terjadi 7 kali pergantian pemerintahan/kabinet. Tak hanya itu, gerakan separatisme dan fundamentalisme juga menguat kala itu. Bung Karno menyebut demokrasi liberal sebagai “hantam-kromo”; bebas mengkritik, bebas mengejek, dan bebas mencemooh. Di sini Bung Karno tidak alergi dengan kebebasan menyatakan pendapat dan melancarkan kritik. Namun, menurut dia, setiap kebebasan mestilah punya batas, yakni kepentingan rakyat dan keselamatan negara.

            Di lapangan kebudayaan merebak penyakit individualisme, nihilisme dan sinisme. Kebudayaan tersebut membunuh kepribadian nasional bangsa Indonesia yang berdasarkan kolektivisme dan gotong-royong. Tak hanya itu, kebudayaan feodal dan imperialistik juga bergerilya menanamkan jiwa pengecut, penakut, lemah, dan tidak percaya diri kepada rakyat Indonesia dalam bertindak dan berbuat.


            Itulah yang dihadapi oleh revolusi nasional saat itu. Dan, di mata Bung Karno, sebagian besar rintangan terhadap revolusi di atas bersumber pada corak berpikir dan bertindak yang bertolak-belakang dengan semangat kemajuan. Jadi, revolusi mental ala Bung Karno itu sangat dipengaruhi oleh konteks ekonomi-politik jaman itu. Revolusi mental-nya juga tidak diisolir dari perjuangan mengubah struktur ekonomi-politik kala itu. Karena itu, Bung Karno menyerukan perlunya “Revolusi Mental”. Beliau mengatakan, “karena itu maka untuk keselamatan bangsa dan negara, terutama dalam taraf nation building dengan segala bahayanya dan segala godaan-godaannya itu, diperlukan satu Revolusi Mental.”

       Tahun 2014 merupakan tahun ketika Revolusi Mental menjadi jargon utama dalam kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Pada saat itu menurut Joko Widodo, reformasi yang terjadi selama ini hanya sebatas institusional. Oleh karena itu diusulkan perlu adanya Revolusi Mental dengan menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building yang lebih manusiawi. Wacana Revolusi Mental sebenarnya tersirat suatu keinginan untuk segera melakukan perubahan secara cepat dan radikal. Namun, Revolusi Mental yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo belum dapat dirasakan nyata sebagai sebuah gerakan yang praktis dan implementatif. Padahal Revolusi Mental memiliki nilai yang sangat strategis dan instrumental dalam pembangunan negeri ini. Aspek strategis Revolusi Mental diarahkan untuk kedaulatan, berdaya saing, bertoleransi, dan persatuan bangsa yang dilakukan secara aktif melibatkan seluruh element bangsa dengan memperkuat institusi pemerintahan dan pranata sosial budaya. Jika kita mencermati lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman, dinyatakan bahwa pembangunan jiwa lebih diutamakan daripada pembangunan raga. Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya untuk Indonesia raya…. Dari syair tersebut jelas dinyatakan bahwa untuk mewujudkan Indonesia Raya (dalam konteks adil dan makmur) pembangunan jiwa (mental dan karakter) harus dibangun lebih dahulu.

       Banyak masyarakat Indonesia bertanya-tanya, apa sebenarnya capaian dan wujud nyata dari Revolusi Mental? Sudah sejauh mana keberhasilan Revolusi Mental dalam perbaikan bangsa, ketika akhir-akhir ini, kita sering disajikan “perang kata”  dan “hoaks” yang tidak berkesudahan terutama di media sosial? Adakah efek dari Gerakan Revolusi Mental ketika (KKN) korupsi, kolusi dan nepotisme masih merajalela di negeri ini?


       Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 6 Desember 2016, ada tugas khusus yang dibebankan kepada Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sebagaimana tertuang dalam butir kelima Inpres tersebut. Seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, tugas khusus Menko PMK itu adalah melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan Gerakan Nasional Revolusi Mental. Kemudian, penyusunan dan penetapan Peta Jalan dan Pedoman Umum Gerakan Nasional Revolusi Mental (kompas.com). Tentu akan sangat panjang jika kita harus membaca dan menjelaskan tentang Inpres dan pedoman umum GNRM, berdasarkan koordinasi tim yang dibentuk oleh Menko PMK yang beranggotakan dari semua lapisan masyarakat dari berbagai profesi, tersusunlah 5 gerakan yang dapat diimplementasikan secara teknis dengan penanggung jawab masing-masing. Secara lebih teknis, seluruh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan segenap masyarakat diajak untuk aktif mengimplementasikan 5 (lima) gerakan Revolusi Mental melalui wujud perubahan nyata dalam konteks Indonesia Melayani (dikoordinir oleh Kemenpan RB), Indonesia Bersih (dikoordinir oleh Menko Kemaritiman), Indonesia Tertib (dikoordinir oleh Menko Polhukam), Indonesia Mandiri (dikoordinir oleh Menko Bidang Perekonomian), dan Indonesia Bersatu (dikoordinir oleh Mendagri).
    



 Revolusi Mental Bagaimana Perwujudannya?                                                                  

       Kondisi mentalitas bangsa Indonesia saat ini membutuhkan perubahan, mengingat usia Indonesia di tahun ini sudah memasuki 73 tahun. Semakin banyak permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, mulai dari kasus konflik antarwarga, golongan dan kelompok masyarakat sehingga memunculkan gerakan separatis dan itoleran, KKN  (kolusi, nepotisme, dan korupsi) yang semakin marak, rendahnya daya saing bangsa, kemiskinan yang tinggi hingga kesenjangan ekonomi yang tinggi, penyalahgunaan narkotika, serta berbagai persoalan lain yang tersebar di berbagai sektor.


       Mewujudkan Revolusi Mental memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun demikian Revolusi Mental sangat cocok dibebankan kepada ASN, sebab Revolusi Mental dapat meningkatkan kinerja positif dari ASN dan mampu menjadikan ASN sebagai agen perubahan serta dapat menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani masyarakat. Dengan cara memahami akan jati diri dari seorang ASN sebagai abdi negara yang memiliki keinginan dan kepuasan untuk berbuat dan melayani yang terbaik bagi masyarakat. Di samping itu juga ASN bisa merasakan bahwa kehadirannya dalam melaksanakan tugas sangat dibutuhkan, merasa penting dalam organisasi, dan merasa dihargai. Tidak memandang kasta/golongan, berempati, berupaya menolong, dan bersahabat, merupakan citra diri aparatur yang diharapkan dapat terus dipahamkan kepada seluruh ASN. 


       Menjadi seorang pelayan masyarakat adalah tugas mulia, sehingga segala keterbatasan yang dihadapi tidak membatasi kiprah diri ASN untuk bersemangat memberikan pelayanan yang optimal. Syarat selanjutnya yang dibutuhkan agar aktualisasi Revolusi Mental dapat berjalan dengan baik dan optimal adalah dengan ketersediaan dukungan yang positif, yang meliputi: (a) Apresiasi terhadap pencapaian pegawai, meyakinkan pegawai akan apresiasi atas setiap pencapaian kinerja, saling memampukan, mendorong pengembangan pegawai, serta bersama-sama terus mengembangkan kapasitas diri untuk berinovasi. (b) Dukungan simbolisasi, pembuatan standar pelayanan, kebersamaan antara pegawai, dll juga penting dilakukan untuk menciptakan situasi/semangat yang positif. (c) Lingkungan kerja produktif merupakan dukungan untuk menciptakan lingkungan kerja yang saling mendukung. (d) Organisasi yang harmonis dengan publik, menuntaskan keluhan publik, serta melibatkan publik dalam menjaga kinerja birokrasi. Jika seluruh syarat tersebut dapat berjalan dengan baik, maka dapat dipastikan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang terkait dengan peningkatan integritas aparatur, peningkatan etos kerja aparatur, dan peningkatan semangat gotong-royong aparatur akan dengan mudah dapat diaktualisasi secara nyata, terinternalisasi, dan berkelanjutan. Sehingga pada akhirnya peningkatan performa pelayanan publik dan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan akan dapat dicapai secara optimal. 


       Melihat aspek yang lain, Revolusi Mental pada dasarnya tidak hanya dibebankan kepada birokrasi sepenuhnya, namun masyarakat juga perlu mengikuti dsn melakukan Revolusi Mental untuk menciptakan kondisi yang harmonis dan selaras secara bersamasama dengan birokrasi. Masyarakat perlu menunjukkan semangat positifnya dalam menunjang birokrasi yang secara umum dapat dicirikan pada masyarakat yang taat pada aturan, disiplin, berkontribusi nyata dan aktif dalam kegiatan pemerintah, serta kritis dalam menilai kinerja pemerintah. Ada beberapa cara sederhana yang dapat dilakukan masyarakat dalam menyukseskan Gerakan Revolusi Mental diantaranya menerapkan pola hidup sehat: makan, istirahat, dan olah raga yang cukup, jaga relasi yang baik dengan seluruh anggota keluarga, bangun relasi yang baik dengan tetangga, hormati hak-hak orang lain saat berada di jalan, pasar, dan tempat-tempat umum lain nya, hormati hak orang lain saat berada dalam antrian, menepati janji dan menghargai waktu, jaga kebersihan lingkungan, ubah cara pikir negatif menjadi positif dalam menghadapi persoalan, dan sebagainya. Dengan beberapa cara sederhana tersebut, pada akhirnya kebijakan Revolusi Mental secara keseluruhan akan melahirkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan daerah secara signifikan.


       Gerakan Revolusi Mental juga dapat dibebankan kepada mahasiswa, sebagai agen perubahan dan pembentuk identitas kepribadian bangsa. Selain menjalankan tugasnya sebagai seorang mahasiswa yang masih sedang belajar, akan lebih baik lagi jika mahasiswa ikut serta dalam membentuk kepribadian masyarakat sebagai bangsa yang mandiri, optimis, dan berani bersaing dengan masyarakat luar negeri. Mahasiswa juga perlu membentuk dirinya sebagai pribadi yang peka terhadap permasalahan sosial masyarakat dan membangun etos kerja untuk membantu masyarakat sehingga menjadi pelaku sekaligus teladan bagi masyarakat untuk mensukseskan gerakan revolusi mental. Hal tersebut menjadi sebuah strategi internalisasi nilai revolusi mental melalui jalur pendidikan tinggi.


       Langkah nyata yang dapat dilakukan oleh mahasiswa adalah dengan ikut “terjun” dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Menurut (Widjaja, 2003:169) pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri baik di bidang ekonomi, sosial, agama dan budaya. Melaui kegiatan pemberdayaan, masyarakat diharapkan memiliki kemandirian untuk megembangkan potensi yang dimilikinya. Dengan terjun ke lapangan, mahasiswa dapat melihat bagaimana kondisi fisik dan nonfisik yang ada. Dari sana mahasiswa dapat mengamati, menganalisis, dan mengetahui masalah apa saja yang timbul di suatu wilayah. Selain itu, melalui kegiatan pemberdayaan, mahasiswa dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh di pendidikan formal untuk mewujudkan hal positif di masyarakat. Melalui gagasan-gagasan yang berbasis kondisi di lapangan tentunya akan lahir ide-ide aplikatif sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat. Melalui hal ini, gagasan mahasiswa tidak hanya menjadi suatu hal yang fiktif-teoritis dan hanya cita-cita semata. Pada kenyataannya, kontribusi mahasiswa dalam berbagai kegiatan masyarakat tampaknya cenderung belum optimal. Hanya sedikit dari mereka yang mau terjun ke masyarakat. Di harapkan dengan adanya Revolusi Mental mahasisa bisa sadar dan tertarik untuk “terjun” ke masyarakat demi mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki masyarkat demi mewujudkan masyarakat yang mandiri, dan sejahterah.


       Dari pembahasan kita diatas dapat disimpulkan bahwa Revolusi Mental mampu membawa perubahan Indonesia menuju arah yang lebih baik dan positif, sebab Gerakan Revolusi Mental memiliki nilai yang sangat strategis dan instrumental dalam pembangunan negeri ini. Namun kenyataan nya Gerakan Nasional Revolusi Mental belum dirasakan secara langsung dan secara nyata sebagai sebuah gerakan yang praktis dan implementatif oleh masyarakat Indonesia. Maka dari itu pemerintah harus memaksimalkan Gerakan Nasional Revolusi Mental demi terwujudnya paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building yang lebih manusiawi.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH SUKU PAKPAK DAN ADAT ISTIADAT

SEJARAH BAHASA INGGRIS DAN PERKEMBANGAN NYA